Para Sepuh di Korea

Bismillahirrahmaanirrahiim

“Kalau mau optimis terhadap pertumbuhan penduduk Korsel datang aja ke Orinidaegongwon”, gitu cenah kata pak suami… Hehe.. Nya muhun atuh da Orinidaegongwon mah taman rekreasinya anak-anak, tentu saja akan ketemu banyak anak kecil di mana-mana…

Prolog apa coba ini..

Salah satu sudut Orinidaegongwon musim panas ini

Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan piramida terbalik, di mana penduduk usia senjanya menjadi lebih dominan dibanding usia muda, terlebih angka kelahiran di Korea semakin turun dari tahun ke tahun.. Baru saja berita beberapa hari lalu menyebutkan bahwa angka kelahiran di Korsel menyentuh angka terendah.

Ngomong-ngomong tentang penduduk usia lanjut, jadi ceritanya  tempo hari saya nyasar ke akun YouTube nya Asian Boss yang pas banget ketemu liputan tentang Eldery Poverty di Korea Selatan yang memang mengkhawatirkan.. Iya, di sini sangat sering terlihat sepuh-sepuh yang beneran udah sepuh banget tapi masih harus kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya…Dan dari liputan tersebut isinya memang relate banget dengan kenyataan yang sering kami dengar dan lihat sehari-hari..

Pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh para sepuh ini adalah mengumpulkan kardus-kardus bekas yang nanti akan mereka jual . Liputan 3 tahun lalu itu malah menyebutkan bahwa salah satu nenek yang sudah berusia 82 tahun  harus mulai kerja dari jam 7 pagi sampai 10 malam hanya untuk mendapatkan setumpuk kardus yang tidak dihargai seberapa, hanya sekitar 2 ribu won atau setara 24 ribu rupiah.. Hikss.. Kalau dibilang setumpuk di sini ya bener-bener setumpuk kardus yang dibawa di gerobak, sampai terkadang nenek atau kakek yang bawanya udah kepayahan untuk narik atau dorong.. Bahkan pernah suatu ketika pak suami dipanggil sama seorang Halmoni (nenek) buat bantu angkatin gerobaknya, “Ajussi.. Ajussi…”.. Pulang-pulang beliau lapor, “Masa ya Mi tadi abi dipanggil Ajussi..”.. Wkwkwk.. Ya masa mau dipanggil Oppa…

Dalam liputan Asian Boss tadi, salah satu yang membuat takjub adalah saat bercerita kehidupan beratnya tersebut, sang nenek 82 tahun ini bercerita dengan riang dan selalu diiringi tawa kecil. Kenapa beliau bisa “secerah ini”? Tanya sang reporter. Dan beliau menjawab, “Karena saya sering ke gereja, saya selalu menerima pemberian Tuhan dengan senang”.. Terlepas dari agama yang beliau anut, beliau sudah  menunjukkan bahwa orang yang percaya Tuhan, orang yang beragama itu selalu memiliki tempat untuk kembali, selalu memiliki harapan yang besar dan tak mudah berputus asa..

Korea Selatan, terutama penduduk usia mudanya terkenal sebagai penganut agnostik. Mereka sebenarnya percaya Tuhan tapi memilih tidak menganut agama tertentu. Yang uniknya, misionaris dari kalangan penganut Kristiani itu marak sekali di sini. Sangat lumrah ditemui di sini ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan yang lebih sepuh, mereka berdiri di pinggir-pinggir jalan dan menghentikan orang-orang untuk mengajak berdialog tentang agama.

Saya pribadi pernah sekali dua kali berpapasan langsung tapi tak pernah jika sampai berdialog. Berbeda dengan cerita beberapa teman yang bahkan punya pengalaman unik setengah “aneh”.. Ada yang tiba-tiba didatangin ke rumah setengah maksa untuk masuk, bahkan ada yang sudah sampai beneran bolak-balik datang ke rumah. MasyaaAllah si teteh nya sabar pisan mau meladeni. “Kalau mereka semangat memperkenalkan agamanya kenapa kita ga memperkenalkan Islam juga”. Begitu kata beliau.

Suami saya sendiri beberapa kali diajakin ngobrol oleh para saudara misionaris ini di depan gerbang kampusnya, sampai udah sama-sama hafal muka, “Eh kita pernah ketemu kan?” .. Wkwkwk… “Padahal ya Mi itu tuh hujan-hujan loh, mereka sambil pakai payung , orang-orang Koreanya sih mana ada yang mau ngeladenin..Abi kalau ada waktu pengen ngobrol ah sama mereka, cuma selalu ga pas waktunya, selalu pas buru-buru.. ” Mungkin bisa-bisa aja sih kalau mau ngeladenin ngobrol, yang pasti jangan sampai memberikan info-info pribadi apalagi nomor telpon dan alamat rumah, bisa beneran didatangin ke rumah ceritanya..

Sampai ada kisah dari kenalannya teman yang kalau beraktivitas di rumahnya pada jam-jam tertentu harus selalu pelan-pelan, “Ini jam datangnya Ajumma..”.. Saking beliau sudah merasa terganggu didatangi terus menerus ke rumah. Uniknya, mereka teh persistence banget alias pantang meyerah.. Kalau dibilang ga bisa  sekarang akan dikejar kapan bisanya.. Kalau besok gimana, jam berapa, dst..Kalau dibilang ga bisa ngomong bahasa Korea maka mereka akan mengajak temannya yang bisa bahasa Inggris bahkan bahasa Indonesia..

Eh kenapa jadi ngalor ngidul yak..hehe.. Intinya adalah terkadang kami kagum melihat militansi mereka saat menyampaikan apa yang mereka yakini, sekaligus menjadi motivasi diri. “Mereka saja PD menyampaikan dan menunjukkan, kenapa kita sebagai muslim tidak.” Kalau kata pak suami, setidaknya kita pun harus PD dan konsisten menunjukkan identitas dan keyakinan kita, InsyaaAllah orang-orang juga akan menghargai. Kalau kita tidak bisa makan dan minum yang haram ya sampaikan, kalau memang harus shalat ya shalat, kalau muslimah harus  berjilbab ya berjilbab, kalau ada yang bertanya tentang Islam ya jelaskan dengan hikmah.

Menjadi muslim di negara minoritas tentu banyak sekali rintangannya, tapi semoga dengan amal-amal ibadah di bagian bumi Allah yang lain ini, kelak dia akan menjadi saksi, “Yaa Allah aku menjadi saksi bahwa hambaMu ini dulu pernah bersujud di atasku”. Dan lagi kalau kata pak suami, “Mi, kepikiran ga sih kalau Halmoni-Halmoni ini nanti di akhirat bilang kayak gini, “Yaa Allah kami tidak tahu tentang Islam karena tidak ada yang menyampaikannya kepada kami. Kami sebenarnya pernah bertemu mereka (Muslim), tapi mereka bahkan berbicara kepada kami pun tidak..” hikss sedih..

Leave a comment