Musim Panas, Idul Adha & Covid-19

Bismillahirrahmaanirrahim

Dari judulnya, ketahuan banget lah ini mah borongan ceritanya 😅

Alhamdulillahilladzii bini’matihi tatimmush shoolihaat.. Akhirnya musim panas tiba.. Summer is coming.. Untuk orang lain, terutama orang Korea sendiri ungkapan yang tepat adalah Winter is coming, yang menggambarkan betapa beratnya musim dingin. Sedang untuk summer sendiri lebih identik dengan Summer vacation atau apa pun lah, pokoknya yang asyik-asyik. Tapi buat umminya Kayyis musim panas itu benar-benar tantangan dan ujian.. Hikss..

Musim panas sebenarnya sudah dimulai sejak bulan Juni lalu..Alhamdulillah saat itu panasnya masih so so lah, tidak jauh beda dengan saat di Indonesia, tepatnya Pamulang.. Saya masih bisa bertahan dengan kipas angin saja bahkan kadang ga kuat jika harus berhadapan dengan kipas lama-lama..

Namun bulan Juli ini suhu mulai terasa panas.. Jika dilihat secara angka sih masih sama saja dengan Jakarta.. Tapi secara realfeels nya lumayan berbeda.. Awal-awal saat melihat perkiraan cuaca, jika tertera angka di atas 30 derajat celsius, si ummi udah heboh.. Tapi sekarang, lihat angka 34 pun lega rasanya karena makin ke sini makin panas bahkan bisa sampai 37 dengan realfeels nya sampai di angkat 42 derajat celsius.. Musim panas di sini lebih terasa gerah dan engap kayak di sauna, seperti terjebak di kubah panas.. Matahari terik ditambah humidity yang tinggi.. Tentu masih kalah jauh bila dibanding negara lain dengan musim panas yang jauuuh lebih panas, makanya harus tetap banyak bersyukur walau hati tetap merindukan sejuknya kota Garut.. Eh..

Emang ga ada AC? Alhamdulillah ada AC bawaannya rumah..Tapi MasyaaAllah, rizkinya kami mendapat AC standing floor yang liat dayanya aja sudah bikin mengkeret.. Dag dig dug kalau nyalain.. Hehe.. Qadarullah minggu lalu saat cuaca sedang panas-panasnya si bayi jatuh sakit.. Demam hingga 39 an derajat celsius, tanpa ada gejala lain semisal flu ataupun sakit perut.. Dua hari dia begitu.. Baca-baca mungkin dia terlalu kepanasan alias kena heat stroke, akhirnya terpaksa si AC mulai dinyalakan.. Hehe. Alhamdulillah hari ketiga Allah berikan kesembuhan.. Ngomong-ngomong soal listrik, di sini sebenarnya ada program unik yaitu diskon listrik untuk keluarga yang punya anak 3 atau lebih, atau untuk keluarga yang punya anak bayi.. Walau begitu, kami masih tetep deg-degan liat tagihan listrik akhir bulan ini.. Heu…

Musim panas identik dengan piknik.. Di awal musim panas ini, kami sering melihat keluarga-keluarga yang sengaja memasang tenda kemah di taman-taman sambil piknik dan bermain..MasyaaAllah..Walau belum punya tenda, kami pun sering melakukan hal serupa, leye-leye di rerumputan, lari-lari sampai main voli-volian..

Qodarullah, kondisi Covid-19 di sini semakin hari semakin tak baik. Hingga akhirnya pemerintah memberlakukan aturan social distancing level 4, level tertinggi sepanjang sejarah pandemi covid-19 di sini. Alhasil, kami pun agak was-was kalau mengajak anak-anak ke tempat umum.. Tapi hari Ied Adha kemarin, akhirnya kami ke luar rumah lagi setelah hampir dua minggu selalu di rumah. Pikir kami pasti akan sepi juga karena bertepatan denhan hari kerja.. Dan, benar saja, saat kami mengajak anak-anak ke Children’s Grand Park, kondisinya sepiii sekali hanya ada sepuh-sepuh yang sedang berolahraga.. Bahkan sekarang terpasang spanduk-spanduk besar berisi larangan memasang tenda kemah di rerumputan yang biasanya ramai sekali… Saking sepinya, kami jadi salah tingkah sendiri, kok aneh ya sepi.. Ga ada temen.. Hehe.. Yo wes pulang lagi… Krik..

Membuka Rekening Korea untuk Pemegang Visa F-3

Jadi ceritanya ini teh dalam rangka “dipaksa” pak suami. Berhubung pak suami hanya punya satu buah rekening bank di sini, riskan kesulitan untuk membedakan antara uang bulanan dengan tabungan.. Berasa uang di rekening masih ada padahal menjebol anggaran bulanan 😂..Selain itu, sebenarnya saya juga membutuhkan rekening agar bisa memiliki nomor telpon Korea dengan sistem pembayaran post paid…

Awalnya, saya malas-malasan karena beberapa kali pernah dengar bahwa untuk foreigner agak sulit membuka rekening di sini, apalagi buat saya yang statusnya tidak bekerja.. Tanya sana-sini pun jawabannya beragam, hingga dapat lah beberapa bank yang direkomendasikan untuk dicoba…

Akhirnya kemarin kami memutuskan datang ke sebuah bank yang menurut forum-forum foreigner cukup “ramah” bagi foreigner yang ingin membuka rekening… Bukan mau promosi, tapi sebutlah namanya Hana Bank.. Lah.. Hehe…

Masih dengan jalan gontai saya mengikuti suami. Sejak di rumah saya sebenarnya sudah mempersiapkan kata-kata yang harus disampaikan ke petugas bank, biar goal gituh, dalam bahasa Inggris tentunya.. Waktu saya sudah berhadapan dengan petugas bank, baru saja saya tanya, “Apakah bisa menggunakan bahasa Inggris?” langsung dijawab dengan gelengan kepala.. Dueeenggg… Langsung bingung akuh..

Tapi MasyaaAllah, petugas bank nya mau bersusah-susah.. Beliau mau pakai aplikasi translator..Akhirnya kami berkomunikasi dengan saling menunjukkan layar gadget masing-masing😅..Salut sama mbak nya.

Seperti dugaan, hal yang pertama ditanyakan adalah “Kenapa mau membuka rekening bank?” Ini unik menurut saya. Entah, perasaan di Indonesia kalau mau buka rekening tinggal buka-buka aja.. Apa karena saya orang asing di sini ya..Akhirnya saya jawab untuk bayar-bayar tagihan rumah dan telpon 😅..

Singkat cerita akhirnya kami berhasil membuka rekening di Hana Bank atas nama saya.. Alhamdulillah.. Tak lupa di akhir mbak petugasnya tanya, “Mau bayar tagihan-tagihannya sekarang?” 😂

Ramadhan Pertama di Negeri Kimchi

Bismillah…

Btw, saya baru tahu bahwa Kimchi sedang menjadi sumber perseteruan antara Korea Selatan dan China.. Kabar terbaru, China mengklaim bahwa Kimchi itu asalnya dari negeri mereka.. Loh? Ah.. Sudahlah, kembali ke topik..

====

Hasil karya dengan bocah tahun ini..

MasyaaAllah walhamdulillah, Allah pertemukan lagi dengan bulan yang mulia.. Bulan ditutupnya pintu neraka dan dibukanya pintu-pintu Surga.. Bulan yang Allah lipatgandakan berbagai pahala amal kebaikan…

Ramadhan tahun ini menjadi lebih spesial karena dijalani di belahan bumi Allah yang lain, dengan suasana yang berbeda, lingkungan berbeda, juga musim yang berbeda…

Lucu ketika kemarin sayup-sayup terdengar obrolan bocah dengan utinya di VC. “Di sana kalau sore ada yang jual jajanan-jajanan juga ga kayak di Jakarta? ” Tanya utinya, maksudnya nanya yang jual takjil.. Dan mereka cuma bisa jawab dengan lesu, “Nggak ada lah Uti..” Lebih tepatnya sulit sekali kami mencari jajanan pinggir jalan yang halal untuk kami santap.. Makanya ketika tempo hari dapat info kalau kue ikan itu halal, cus lah si bapak beli, murah deuih.. MasyaaAllah..

Di Indonesia, suasana Ramadhan begitu kental terasa, bahkan bisa terlihat dari iklan di TV juga barang-barang yang dijual di swalayan. Jika sudah dekat Ramadhan, pasti terasa sekali bedanya, ada sirup M*rj*n, eh.. Sedangkan di sini, sama sekali tak ada yang beda, tak ada suasana seperti itu..

Yang lebih membuat sedih adalah karena pandemi masih belum berakhir. Menurut teman-teman, tahun-tahun lalu sebelum pandemi, setidaknya muslimin bisa beribadah leluasa di masjid, sekarang serba terbatas. .. Ada kegiatan buka bersama, dan kegiatan – kegiatan lain..Bahkan musholla kampus abinya sudah lama tidak buka, padahal dulu biasa melaksanakan tarawih bersama.. Dulu, setiap tahun KBRI bahkan mengadakan buka bersama dan halal bi halal… Qodarullah sejak tahun lalu semuanya ditiadakan..

Maka seperti yang kami rasakan saat ini, ikhtiar lebih kencang akhirnya harus dilakukan di dalam rumah masing-masing. Mengondisikan rumah agar suasana Ramadhan tetap terasa, ibadah tetap semangat tak boleh kendor. Alhamdulillah tetap ada hikmah dari pandemi ini, yaitu banyaknya kajian secara online yang bisa diikuti, baik dari komunitas muslim di sini maupun di Indonesia.. MasyaaAllah..

Juga yang kami rindukan adalah kumandang adzan.. Makanya setiap kali waktu berbuka tiba, kami akan menyalakan video adzan dari laptop, walau tetap saja berbeda rasanya.. Juga tak ada lagi suara Pak Budi, tetangga kami di Pamulang dulu, yang setia rela hati membangunkan para tetangganya untuk sahur.. Yang ada saat ini, kami harus sahur dengan pelan sekali meminimalisir aneka suara agar tak sampai mengganggu tetangga atas dan bawah.. ‘Alaa kulli haal, alhamdulillah

Tahun ini juga menjadi tahun pertama bagi Aghniya belajar puasa penuh, setelah tahun lalu dia belajar puasa dengan dua kali berbuka.. Awalnya sempat khawatir karena puasa di sini lebih lama sedikit bila dibanding di Indonesia. Tapi masyaaAllah, tahun ini Ramadhan bertepatan dengan musim semi, sehingga tidak begitu berat, cuaca sangat nyaman, lama puasa pun hanya sekitar 15-16 jam.. Namun begitu, sejak bulan Sya’ban anak-anak mulai diajak berlatih dengan shaum sunnah, sering-sering juga diajak dialog iman.. Alhamdulillah ternyata Aghniya bisa menjalaninya, walau sempat beberapa hari di awal buka dua kali, namun sisanya bisa puasa penuh hingga maghrib..Pertolongan dari Allah..Alhamdulillah

Kini, Ramadhan akan segera berlalu.. 10 malam terakhir hanya bisa kami jalani di rumah.. Melihat saudara-saudara di Indonesia sudah mulai bisa beri’tikaf di masjid rasanya iri sekali.. Namun begitu kami tetap mengharapkan anugerah dari Allah berupa Lailatul Qodr, mengharapkan ampunan-Nya, mengharapkan pahala dari-Nya..

Celotehan Sebulan di Kota Seoul

Suatu hari teman saya bertanya, “Gimana Mi rasanya tinggal di Korea?” Jujur jawabnya berat, khawatir jatuh pada sikap tidak bersyukur.. Saya sesungguhnya sejak jauh-jauh hari berikhtiar untuk menyiapkan mental bahwa tinggal di negeri orang terlebih bukan negeri Muslim, tentu tak akan mudah…

Rasanya juga ini terlalu awal, namun anggap saja ini sekadar tulisan kenang-kenangan…

Teman ngaji saya yang tinggal di kota lain, suatu hari bercerita di forum kami bahwa beberapa waktu lalu ia berkunjung ke Seoul. Betapa takjubnya ia sampai mengatakan bahwa datang ke Seoul seperti datang ke luar negeri beneran.. Hehe.. Saya sendiri heran padahal ia pun sama-sama tinggal di Korea Selatan.

Seoul kota yang serba cepat dan sibuk.. Tak jarang saat kami berjalan, orang-orang yang kami temui jalan dengan sangat cepat, terkadang kami pun bingung, ini kenapa.. Kami tak begitu heran bila itu di jam-jam orang berangkat bekerja atau sekolah, tapi jalan cepat ini pun kami temui saat hari libur atau bahkan malam mingguan…

Omong-omong soal sekolah, abinya anak-anak bahkan cerita bahwa ia sering sekali melihat anak-anak setengah terseret orang tua mereka saat berangkat sekolah, mungkin saking buru-burunya.. Duh, memang serba cepat..

Lain lagi dengan biaya hidup. Pertama datang ke sini kepala saya puyeng saat secara otomatis selalu mengkonversi harga barang ke dalam kurs rupiah.. Misal seikat besar bawang daun di sini seharga 6.000 won, sama lah di Indonesia juga 6.000 an mungkin.. Tapi jika si won ini dikonversi, maka akan terhitung angka 72.000 rupiah.. Hikssss….Jujur harga yang paling banyak bikin elus dada adalah harga sayur dan buah-buahan.. MasyaaAllah, kalau ingat ini betapa beruntungnya jadi orang Indonesia…

Karena negara ini bukan negara ahli kitab juga, maka otomatis sembelihan mereka jatuhnya haram dikonsumsi. Ini yang mulanya membuat saya berpikir bahwa kami paling banter cuma bisa makan ikan dan telur, padahal selama ini kami adalah pemakan setia daging ayam.. Hehe.. MasyaaAllah alhamdulillah ternyata banyak marketplace yang menjual daging-daging hewan sembelihan yang statusnya halal. Harganya pun lumayan lah walaupun agak mahal tapi tak sampai bikin pening…

Untuk urusan cemilan anak-anak, kami ujung-ujungnya akan membeli jajanan merk-merk Indonesia juga..Pernah suatu hari bocah-bocah pamer saat VC sama bi Ati, “Bi Ati.. Bi Ati liat deh, aku punya permen..” jreng..jreng..lah ternyata permen K*pik*.. Jauh-jauh ke sini, ujung-ujungnya tetap cinta produk Indonesia.. Hehe..Selain itu umminya tiap hari harus puter otak membuat cemilan rumahan. Karena ga ada lagi yang bisa dimakan, MasyaaAllah anak-anak akhirnya makan buatan saya dengan penuh pujian.. Hehe..

Salah satu bumbu-bumbu lain tinggal di sini adalah urusan bertetangga, apalagi bagi kami foreigners yang tinggal di lingkungan orang Korea.. Qodarullah, rumah mungil yang kami tempati ada di lantai dua. Entah kenapa struktur bangungan di sini rata-rata membuat suara yang bersentuhan langsung dengan lantai akan terdengar dan mengganggu penghuni di lantai bawahnya.. Tak jarang gesekan antar tetangga terjadi karena ini, bahkan ada yang cerita bahwa dia sampai harus jinjit untuk berjalan karena tetangga bawahnya super sensitif.

Lalu bagaimana dengan kami? Ini adalah sumber stress saya di awal-awal tinggal di sini. Bagaimana tidak. Baru dua malam kami tinggal, tiba-tiba ada yang menggedor-gedor pintu. Awalnya saya tidak tahu ia tetangga saya, tapi saat dia bilang, “I’m sorry, your son dug dug dug..” lalu dia menutup telinganya menunjukkan gestur bahwa dia terganggu karena berisik. Ya gimana ga berisik, si bocah bayi dorong-dorong meja.. Mungkin tetangga ini kaget, rumah atas yang biasanya hening adem ayem tiba-tiba berisik luar biasa..

Tapi sejak saat itu saya suka gemeteran sama bunyi gedoran pintu.. Entah kenapa gedoran pintu orang-orang sini kencang sekali bertenaga. Makanya kalau bunyi gedorannya alus, saya langsung bisa menebak, pasti itu mah bapake anak-anak.. Hehe.. Dan sejak saat itu juga anak-anak jadi semakin terbatas geraknya.. Jangan harap bisa lompat-lompat atau lari-lari, bahkan jalan pun diusahkan selalu memakai alas..

Sebenarnya untuk yang berkeluarga, lebih disarankan tinggal di rumah lantai 1 atau banjiha..Tapi qadarullah kami sudah meneken kotrak untuk tinggal di rumah yang sekarang ini minimal selama dua tahun. Lalu gimana dong anak-anak kasian banget? Akhirnya abinya anak-anak mengikhtiarkan mengajak mereka ke outdoor, ke taman dekat rumah, setidaknya dua hari sekali.. Membiarkan mereka bermain lepas, berlari, manjat-manjat, pokoknya bebas..

Nah, sejak tinggal di sini, untuk mengisi perabot rumah tangga kami jadi amat sangat perhitungan, eman-eman. Akhirnya, jika pun benar-benar memerlukan suatu barang, kami akan hunting dulu barang-barang second, tak jarang kami juga hunting di pinggir-pinggir jalan.. Lah.. Iya, jadi di sini jika ingin membuang perabot, terutama yang besar tidak bisa asal-asalan. Mereka harus lapor ke petugas agar barangnya diangkut. Biasanya akan ditempeli stiker dulu dan harus bayar. Nah, sebelum lapor ini, sehari atau dua hari biasanya barang itu akan mereka taruh depan rumah siapa tau ada yang butuh dan mengambilnya.. Lumayan kan.. Yang membutuhkan tertolong, yang niat buang juga tertolong ga jadi mengeluarkan uang. Selain cara itu, bisa juga dengan menjualnya di forum-forum jual beli. Kadang ditulis aja free gitu, atau ditulis dengan harga yang kelewat murah. Intinya, kata abinya itu mah sebenarnya pengen buang.. Hehe..

Seperti pengalaman kami pekan lalu, abinya anak-anak butuh meja untuk kerja dan ngajar di rumah. Daripada beli baru dengan harga lumayan, akhirnya saya hunting di sebuah aplikasi bernama “Karrot”. MasyaaAllah ketemu lah sama item meja yang free.. Liat sekilas di foto lumayan masih bagus, lokasi ambilnya pun masih terjangkau dengan jalan kaki. Saat abinya anak-anak ambil meja itu, MasyaaAllah meja yang dikira imut unyu itu ternyata gede panjang dan berat. Sejauh 1,5 km dia harus ngangkut meja itu ke rumah, besoknya langsung pegel-pegel. Hehe.. Gapapa.. Alhamdulillah rizquminallah..

Oia, satu lagi. Sebelum berangkat ke sini saya terkadang mendengar bahwa orang Korea kurang ramah terhadap foreigners, terutama orang-orang Asia Tenggara. Alhamdulillah sejauh ini kami tidak pernah mengalami pengalaman buruk terkait itu, dan semoga selamanya tidak. Cuma yang kadang tidak enaknya adalah saat tiba-tiba diajak bincang oleh sepuh, beneran ga enak. Anak-anak di manapun biasanya menjadi gerbang untuk memulai komunikasi apalagi buat ibu-ibu , tapi di sini saya jadinya keder karena sama sekali ga ngerti dan ga bisa jawab.. Hanya saja kata abinya, orang-orang di sini akan sangat senang bahkan menghargai bila kita menunjukkan bahwa kita sedang belajar bahasa mereka, walaupun sepotong-sepotong atau istilahnya “broken hangeul”.. Cuma kadang ada juga kejadian lucu yang menimpa abinya anak-anak. Tiba-tiba di tengah jalan ia disenyumin kakek-kakek lalu kakek ini bilang, “one.. two.. three..” seperti ingin bilang, ” hey.. Saya juga bisa bahasa Inggris loh”…Alhamdulillah sejauh ini kami melihat banyak orang Korea yang ramah, bahkan tetangga yang sempat gedor rumah pun, saya bisa melihat jelas gesturnya yang sangat ramah padahal sedang komplain. Intinya kita tidak bisa memukul rata semua orang.

Begitu lah… Semoga Allah senantiasa hadirkan rasa syukur dan juga sabar atas segala yang terjadi…

Beberapa hari lagi Ramadhan menjelang. Belum apa-apa saya sudah baper. Tidak bisa merasakan suasana Ramadhan seperti di Indonesia, bahkan anak-anak sudah jauh banget mikirnya, “Yaah.. Nanti ga ada takbiran ya kalau lebaran..” hehe…

Yaa Allah, kuatkan kami dan teguhkan kami dalam ketaatan kepada Mu di belahan bumi Mu yang mana pun kami berada.. Aamiin

Menjalani 14 Hari Karantina Mandiri di Korea Selatan

Bismillah

Saat tiba di Korea Selatan pada 25 Februari lalu, saya dan anak-anak langsung menjalani tes PCR pertama dan kemudian melakukan karantina mandiri selama 14 hari.Selama karantina mandiri ini, abinya anak-anak terpaksa harus mengungsi di gosiwon (kos-kosan) , karena kami khawatir tidak bisa menjalankan prokes dengan baik bila tetap serumah, apalagi abinya masih harus ke kampus. Kami hanya bertemu sekilas saja saat beliau membantu angkat-angkat koper ke dalam rumah. Jadi, kami masih harus bersabar untuk benar-benar bisa berkumpul.

Hasil tes PCR pertama langsung keluar esok harinya, dan alhamdulillah kami semua negatif. Entah bagaimana jadinya jika kami atau salah satu dari kami ada yang positif, karena di sini tidak seperti di Indonesia yang ada pilihan bisa menjalani isolasi mandiri di rumah. Siapa pun yang terkonfirmasi positif, walaupun tak bergejala, maka akan dijemput petugas untuk diisolasi terpusat di tempat milik pemerintah. Juga, bagi kasus import, dengar-dengar biaya isolasi tidak ditanggung pemerintah Korea. MasyaaAllah, lumayan itu.

Jika pada pagi hari yang keluar adalah hasil tes PCR, maka pada siang hari petugas puskesmas (boegonso) datang ke rumah untuk mengantarkan paket bekal menjalani masa karantina. Sepertinya tiap wilayah bisa berbeda isinya. Misal masalah plastik sampah saja. Di daerah lain plastik sampah ada yang diberi 2 buah per orang, dipisah antara organik dan non organik. Sedang pengalaman kami kemarin, satu orang mendapat satu buah saja plastik sampah medis ukuran 29 lt. Pokoknya selama masa karantina, mbuh sampahnya jenis apa, plek ketuplek dicampur jadi satu dan dianggap sebagai sampah medis. Ini kali terakhir saya nyampur sampah “seenaknya” sebelum akhirnya harus tertib memilah sampah sesuai aturan di sini😅.

Paket dari puskesmas

Rutinitas harian yang tak boleh sampai terlewat selama karantina adalah mengisi aplikasi karantina, berupa laporan suhu tubuh dan aneka symptom covid, setiap pagi (jam 8-10) dan sore (jam 18-20) . Walaupun saya hanya menggunakan satu hp, saya tetap melaporkan kondisi anak-anak pada kolom rincian yang ada di bagian paling bawah aplikasi tersebut. Kalau sudah disuruh cek suhu tubuh pakai termometer, anak-anak lumayan bete apalagi menjelang akhir-akhir masa karantina, mereka sudah sangat bosan, “Suhu lagi.. Suhu lagi..” 😂

Niat banget di SS buat kenangan😅

Yang luar biasa adalah kerja keras petugas kesehatan di sini. Rajin sekali sms dan nelpon abinya anak-anak. Misal, sebenarnya masih ada waktu 30 menit untuk laporan di aplikasi, belum telat dong ya, tapi abinya anak-anak udah mulai ditelponin atau di-sms diingatkan untuk segera laporan. Pernah juga koneksi internet ga bagus, padahal saat itu sudah lewat jam 9 malam, tetap dong ditelponin nanyain kenapa tuh hapenya ga kedetect.. MasyaaAllah…

Nah, di hari ke-13 kami dapat “bonus” keluar rumah.. Biar semangat anggap aja bonus.. Hehe.. Padahal tujuan keluarnya adalah tes PCR kedua sebelum mengakhiri masa karantina.. Sebenarnya kebijakan ini kalau tidak salah baru berlaku di sekitar bulan Januari. Dulu saat abinya anak-anak datang di bulan September, pemerintah Korea Selatan hanya mewajibkan tes PCR saat kedatangan saja, bahkan untuk terbang saja tak perlu melampirkan keterangan hasil PCR.

Masalahnya, untuk menuju boegonso kami hanya bisa menggunakan kendaraan pribadi, lah ya ga ada toh.. Otomatis jalan kaki menjadi pilihan satu-satunya.. Kami yang terkurung selama 13 hari, sekalinya keluar eh disuruh jalan pp total 6 km.. MasyaaAllah lumayan.. Hehe.. Tapi sepanjang jalan melihat orang-orang pun berjalan kaki bahkan orang tua-orang tua berjalan dengan tongkat mereka, membuat perjalanan lebih tidak berasa..Pegel sih ada lah, maklum lama ga gerak😅.

Jalan kaki pertama

Berbeda dengan pengalaman PCR yang pertama, PCR yang kedua ini antrian panjang sudah terpampang saat kami tiba.. MasyaaAllah.. Alhamdulillah ada abinya anak-anak yang menemani, walaupun tetap harus menjaga kontak dengan kami yang masih berstatus “suspect”.. Saya pun antri sendiri untuk mengambil form, sedang anak-anak saya titip ke abinya. Saking panjangnya, antrian sampai memutar dulu ke sebuah lorong yang panjang sekali..

Ada pengalaman unik sekaligus sedih. Saat baru tiba di halaman boegonso, ada seorang nenek yang melihat Zahir di stroller lalu beliau menyapa dengan sangat ramah. Saat saya antri, ternyata nenek tersebut antri tepat di depan saya. Ketika beliau berbalik, beliau mengajak saya berbincang. Seketika saya kikuk dan terbata, bingung bagaimana menjelaskan kalau saya belum bisa bahasa Korea. Melihat respon saya yang tergagap beliau pun faham, dan saya hanya bisa mengatakan maaf dalam bahasa Korea. Beliau masih dengan ramahnya menjawab ” Tidak apa-apa.. Tidak apa-apa..” hikss sedih..

Pengalaman unik lainnya adalah saat PCR kedua ini cukup banyak anak-anak yang melakukan tes PCR. Kalau kata abinya sih kemungkinan tes hari itu adalah hasil tracing.. Anak-anak yang dites macam-macam responnya. Ada yang hanya takut, ada yang nangis, ada yang harus dikejar-kejar petugas. Bahkan ada satu anak balita yang dipangku ibunya lalu berontak hingga ibunya terjungkal dari kursi.. Lalu bagaimana dengan anak-anak saya? Seperti biasa, mereka pasrah tak bisa nolak, tentu terkecuali si bayi yang otimatis diiringi tangisan.. Hehe… Bahkan qodarullah si kakak dan si teteh harus dapat “bonus”. Mereka harus melakukan swab pengambilan sampel hingga dua kali karena sampel mereka sempat tertukar label botolnya.. MasyaaAllah…

Setiap selesai swab PCR, selalu dag dig dug, banyak berdoa, banyak juga minta doa. Alhamdulillah malam harinya hasil tes sudah keluar dan kami dinyatakan negatif lagi..Walau hasil negatif sudah diperoleh sejak malam hari, kami tetap harus mematuhi aturan untuk tetap melanjutkan karantina hingga pukul 12.00 di hari ke-14…

Laa haula walaa quwwata illaa billaah.. Alhamdulillahilladzii bini’matihi tatimmush shoolihaat…Saat ini, kami akhirnya sudah bisa berkumpul kembali..Setelah berpisah 6 bulan lebih dengan jarak ribuan kilometer.. Seperti doa-doa kami selama ini, semoga berkumpulnya kami bisa menambah kebaikan di hadapan Allah ❤️❤️